Jumat, 06 Desember 2013

KEDUDUKAN, FUNGSI DAN PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA



2.1 Kedudukan MK

Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain.
Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.

2.2 Fungsi dan Peran MK

Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK[1] dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review[2] yang menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan MK
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:
1.        Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2.        Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3.        Memutus pembubaran partai politik.
4.        Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

a).  Pengujian undang-undang terhadap uud 1945

Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60.[3] Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review[4]. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.

b).  sengketa Kewenangan Konstitusional antar lembaga negara

Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.

c).  Pembubaran Partai Politik

Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.

d).  Perselisihan hasil Pemilu

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.

e).  Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.[5]

Putusan Final dan Mengikat

Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.[6] Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK.
Dalam perkara pengujian UU misalnya, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Oleh karena itu, yang terikat dan harus melaksanakan
Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK.
2.3 Kewenangan Mahkamah Konstitusi  dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilihan Kepala dan Wakil Kepala Daerah
Sengketa hasil pemilihan umum kepala dan wakil kepala daerah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi yang semula merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Pemindahan wewenang ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang merubah pengertian “pilkada” menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada). Pemilukada ini dimaknai sebagai bagian dari kegiatan Pemilhan Umum, sebagaimana diatur pada pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, sebagai berikut:
“Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Didalam pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilu. Sehingga sejak pilkada dimasukkan dalam pengertian “pemilu”, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,penanganan Hasil pemilihan umum Daerah dialihkan dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sampai dengan 22 Maret 2011, jumlah perkara perselisihan hasil Pemilukada yang telah masuk Mahkamah Konstitusi berjumlah 304 perkara. Dari jumlah perkara sebanyak itu, sebanyak 192 perkara ditolak: 56 perkara tidak diterima; 1 perkara gugur; 4 perkara ditarik kembali; dan 32 perkara dikabulkan.[20]
Perkembangan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Hasil Pemilihan Umum Daerah (PHPU.D)
Dalam perkembangan, putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi dalam perkara hasil pemilihan umum daerah (PHPU.D) tidak selalu menimbulkan kontroversi. Terdapat beberapa putusan yang menjadi kontroversi akibat MK memutus untuk dilakukannya pemungutan suara ulang atas dasar terjadinya pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilukada yang mencederai demokrasi. Putusan yang memerintahkan agar dilakukan pemungutan suara ulang diantaranya pada perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (PHPU.D) Jawa Timur pada tahun 2008 dengan putusan  MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 dan perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Tangerang Selatan pada tahun 2010 dengan putusan MK Nomor 209-210/PHPU.D-VIII/2010.
Pada perkara PHPU.D Jawa Timur, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak mengikat secara hukum keputusan KPUD Jawa Timur,namun pembatalan hanya sepanjang mengenai hasil rekapitulasi penghitungan suara di kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. MK tidak menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut MK. Namun justru memerintahkan kepada KPU Provinsi Jawa Timur untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di kabupaten Bangkalan dan Sampang, dan penghitungan suara ulang di kabupaten Pamekasan dengan menghitung kembali secara berjenjang surat suara yang sudah dicoblos.[21]
Dan pada perkara PHPU.D Tangerang Selatan, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak mengikat secara hukum keputusan KPU Tangerang Selatan tersebut. Pemohonan yang dikabulkan adalah permohonan yang terbukti beralasan. Selain itu MK juga mengabulkan pemohonan pemohon berupa pemungutan suara ulang.[22]
Putusan yang memerintahkan pemungutan suara ulang ini menjadi suatu kontroversi, karena MK dalam memutus perkara ini telah melampaui kewenangannya sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum acara MK itu sendiri. Dalam pasal 4 PMK Nomor.15 tahun 2008 menyatakan :
“Objek perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon yang mempengaruhi :
  1. Penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; atau
  2. Terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah”
Dalam pertimbangan hukumnya MK memberikan tafsiran yang luas dalam mengadili sengketa pemilukada. MK berpendapat dalam mengadili sengketa Pemilukada tidak hanya membedah permohonan dengan melihat hasil perolehan suara, melainkan MK juga meneliti secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang memengaruhi hasil perolehan suara tersebut. Dari pandangan tersebut terlihat seolah-olah adanya perluasan objek sengketa perselisihan hasil pemilihan umum yang tidak hanya melihat dari hasilnya tetapi juga prosesnya.
MK dalam putusannya baik dalam perkara PHPU.D Jawa Timur maupun PHPU.D Tangerang Selatan telah menerapkan doktrin judicial activism. Adapun pengertian judicial activism sebagai berikut :
“A philosophy of judicial decision making, whereby judges allow their personal views about public policy, among other factors, to guide their decision, usually with the suggestion that adherents of this philosophy tend to find constitutional violations and are willing to ignore precedent”[23]
Pada perkara PHPU.D Jawa timur MK memberikan pandangan bahwa MK tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)[24] , karena fakta-fakta hukum yang telah terbukti dalam perkara tersebut telah nyata merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis, dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
MK mengutip salah satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria)[25]. Dengan demikian, tidak satu pun Pasangan Calon pemilihan umum yang boleh diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Terlepas dari penanganan penegak hukum yang akan memproses semua tindak pidana dalam Pemilukada secara cepat dan fair untuk menjadi alat bukti dalam sengketa pemilukada di hadapan Mahkamah yang dalam pengalaman empiris Pemilukada tampaknya kurang efektif, maka Mahkamah memandang perlu menciptakan terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran sistematis, yang terstruktur, dan massif.
Selanjutnya MK menegaskan bahwa dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada, Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-matematis sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa.
Atas alasan-alasan tersebutlah MK dapat memasuki proses mengadili dan dalam putusannya memerintahkan pemungutan suara ulang apabila telah terjadi pelanggaran yang mempunyai sifat terstruktur,sistematis dan massif karena MK tidak mungkin menetapkan versi perhitungan yang tepat menurut MK apabila dalam prosesnya diwarnai dengan pelanggaran-pelanggaran yang cukup serius.
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif Konstitusi dan Demokrasi
Penerapan Judicial Activism untuk menegakkan keadilan substantif merupakan langkah yang tepat, pandangan MK sebagai pengadilan konstitusi berfungsi menegakkan keadilan tidak dapat dikesampingkan. MK mempunyai tujuan utama menegakkan konstitusi yang didalam konstitusi tersebut terdapat sendi-sendi demokrasi. Sendi demokrasi inilah yang harus ditegakkan oleh MK dalam pemilukada.   Namun yang perlu diperhatikan sampai sejauh mana MK dapat mengedepankan keadilan substantif dan mengesampingkan keadilan prosedural. MK yang merupakan sebagai lembaga peradilan tentu terikat dengan hukum acaranya yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan perkara. MK harus berpegang teguh pada hukum acaranya, karena keadilan yang harus diwujudkan adalah keadilan yang lahir dari sebuah kepastian hukum.
Dari putusan-putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi perihal PHPU.D, putusan PHPU.D Jawa Timur dijadikan yurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi dalam hal perluasan objek sengketa PHPU.D hal ini tentu tidak sesuai dengan hukum acara yang telah di tetapkan. Dalam perkembangan putusan yang dikeluarkannya Mahkamah Konstitusi dalam mengemban misinya sebagai kekuasaan kehakiman harus menegakkan demokrasi dan keadilan. Keadilan substantive yang telah mencederai nilai-nilai demokrasilah yang ditegakkan oleh MK dalam sengketa PHPU.D. objek sengketa yang menjadi criteria MK untuk dapat memeriksa perkara PHPU.D adalah pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur,sistematis dan massif yang telah mencederai demokrasi dalam pemilukada. Dari perkembangan putusan yang telah dikeluarkan MK terdapat indicator-indikator yang menjelaskan criteria dari pelanggaran tersebut. Indicator tersebut dapat dijadikan dasar untuk membentuk suatu aturan acara dimana MK dalam menegakkan keadilan substantive tidak selalu mengesampingkan keadilan procedural. keadilan substantive dan keadilan procedural harus berjalan secara simultan. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai Negara hukum yang telah tercantum dalam konstitusinya harus menjamin keadilan yang terwujud adalah keadilan yang berdasarkan kepastian hukum.


[1] Tidak semua negara menyebut lembaga baru itu dengan istilah MK. Prancis misalnya menyebut dengan Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel), Belgia menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitusional Arbitrage) karena lembaga ini dianggap bukan pengadilan dalam arti yang lazim karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim. Persamaan dari ke-78 negara itu adalah pada MK yang dilembagakan tersendiri di luar MA.
[2] Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a priori disebut judicial preview sebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan Konstitusi) di Prancis. Judicial review bekerja atas dasar adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis.
[3] Pasal 50 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat setelah dibatalkan MK.
[4] Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori, kalau dilakukan secara a priori disebut judicial preview sebagaimana misalnya dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan Konstitusi) di Prancis. Judicial review bekerja atas dasar adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis.
[5] Lihat Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.
[6] Lihat Pasal 10 dan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar