2.1 Kedudukan MK
Digantikannya
sistem division of power (pembagian kekuasaan)
dengan separation of power (pemisahan kekuasaan)
mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca
amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power
yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat
dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya
kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau
penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara,
yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya
sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
Akibat
utama dari anutan sistem separation of power,
lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan
tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD
dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945,
kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga
melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada
satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya
sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau
sederajat.
Dalam
konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan
fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu
lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan
lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai
lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan
mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga
negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan
yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances
antara satu sama lain.
Selanjutnya,
UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi.
Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan
“menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang
melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki
kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin
terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
2.2 Fungsi dan Peran MK
Fungsi
dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip
konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang
mengakomodir pembentukan MK[1]
dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi
pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam
ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan
lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga
terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi
parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. MK dibentuk dengan
fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor
konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu
sendiri terkawal konstitusionalitasnya
Untuk
menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,
mekanisme yang disepakati adalah judicial review[2]
yang menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian
daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk
hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak
boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial
review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak
lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
Fungsi
lanjutan selain judicial review,
yaitu (1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran partai
politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu
memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan
(antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan
biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai
politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga
negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena
itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai
politik dikaitkan dengan kewenangan MK
Fungsi
dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945
yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally
entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional
obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah:
1.
Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2.
Memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3.
Memutus pembubaran partai politik.
4.
Memutus perselisihan tentang hasil
pemilu.
Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal
10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan
atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
a). Pengujian undang-undang terhadap uud 1945
Mengenai
pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal
50 sampai dengan Pasal 60.[3]
Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi
kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya
mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar
konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan
undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan
di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak
dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review[4].
Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak
selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui
kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga
negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari
koridor konstitusi.
b). sengketa Kewenangan Konstitusional antar lembaga negara
Sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang
disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem
relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check
and balances, yang berarti sederajat tetapi saling
mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam
melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya
perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi
wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur
dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
c). Pembubaran Partai Politik
Kewenangan
ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada
otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian
kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam
pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi.
Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan,
program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan
Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur
kewenangan ini.
d). Perselisihan hasil Pemilu
Perselisihan
hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai
penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil
pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota
DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan
presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil
presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah
pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
e). Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kewenangan
ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak
dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan
presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy
of law dan equality before law,
presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum
sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak
bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam
hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap
tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan
di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang
hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per
tiga) anggota DPR.[5]
Putusan Final dan Mengikat
Putusan
MK bersifat final dan mengikat (final and binding).
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final.
Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu
sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan
Peninjauan Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan MK memiliki
kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.[6]
Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan
hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara negara
yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK harus patuh dan tunduk
terhadap putusan MK.
Dalam
perkara pengujian UU misalnya, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak
dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak
konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut
adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya
konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat
atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan.
Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang
latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu
dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan
pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh
keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Oleh karena
itu, yang terikat dan harus melaksanakan
Putusan
MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang
terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK.
2.3 Kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilihan Kepala dan Wakil
Kepala Daerah
Sengketa hasil pemilihan umum
kepala dan wakil kepala daerah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi yang semula
merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Pemindahan wewenang ini didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
merubah pengertian “pilkada” menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah (Pemilukada). Pemilukada ini dimaknai sebagai bagian dari
kegiatan Pemilhan Umum, sebagaimana diatur pada pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007, sebagai berikut:
“Pemilu Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah
secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Didalam pasal 24C UUD 1945
memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan
hasil pemilu. Sehingga sejak pilkada dimasukkan dalam pengertian “pemilu”, maka
berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,penanganan Hasil
pemilihan umum Daerah dialihkan dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi
(MK).
Sampai
dengan 22 Maret 2011, jumlah perkara perselisihan hasil Pemilukada yang telah
masuk Mahkamah Konstitusi berjumlah 304 perkara. Dari jumlah perkara sebanyak
itu, sebanyak 192 perkara ditolak: 56 perkara tidak diterima; 1 perkara gugur;
4 perkara ditarik kembali; dan 32 perkara dikabulkan.[20]
Perkembangan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Hasil
Pemilihan Umum Daerah (PHPU.D)
Dalam perkembangan, putusan yang
dikeluarkan Mahkamah Konstitusi dalam perkara hasil pemilihan umum daerah
(PHPU.D) tidak selalu menimbulkan kontroversi. Terdapat beberapa putusan yang
menjadi kontroversi akibat MK memutus untuk dilakukannya pemungutan suara ulang
atas dasar terjadinya pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilukada yang
mencederai demokrasi. Putusan yang memerintahkan agar dilakukan pemungutan
suara ulang diantaranya pada perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala
daerah dan wakil kepala daerah (PHPU.D) Jawa Timur pada tahun 2008 dengan
putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 dan perkara perselisihan hasil
pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Tangerang Selatan pada
tahun 2010 dengan putusan MK Nomor 209-210/PHPU.D-VIII/2010.
Pada
perkara PHPU.D Jawa Timur, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan
membatalkan dan menyatakan tidak mengikat secara hukum keputusan KPUD Jawa
Timur,namun pembatalan hanya sepanjang mengenai hasil rekapitulasi penghitungan
suara di kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. MK tidak menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar menurut MK. Namun justru memerintahkan kepada KPU
Provinsi Jawa Timur untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di kabupaten Bangkalan
dan Sampang, dan penghitungan suara ulang di kabupaten Pamekasan dengan
menghitung kembali secara berjenjang surat suara yang sudah dicoblos.[21]
Dan pada
perkara PHPU.D Tangerang Selatan, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan
membatalkan dan menyatakan tidak mengikat secara hukum keputusan KPU Tangerang Selatan
tersebut. Pemohonan yang dikabulkan adalah permohonan yang terbukti beralasan.
Selain itu MK juga mengabulkan pemohonan pemohon berupa pemungutan suara ulang.[22]
Putusan yang memerintahkan
pemungutan suara ulang ini menjadi suatu kontroversi, karena MK dalam memutus
perkara ini telah melampaui kewenangannya sebagaimana yang telah diatur dalam
Hukum acara MK itu sendiri. Dalam pasal 4 PMK Nomor.15 tahun 2008 menyatakan :
“Objek perselisihan Pemilukada
adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon yang mempengaruhi
:
- Penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada; atau
- Terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah”
Dalam pertimbangan hukumnya MK
memberikan tafsiran yang luas dalam mengadili sengketa pemilukada. MK
berpendapat dalam mengadili sengketa Pemilukada tidak hanya membedah permohonan
dengan melihat hasil perolehan suara, melainkan MK juga meneliti secara
mendalam adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif
yang memengaruhi hasil perolehan suara tersebut. Dari pandangan tersebut
terlihat seolah-olah adanya perluasan objek sengketa perselisihan hasil
pemilihan umum yang tidak hanya melihat dari hasilnya tetapi juga prosesnya.
MK dalam
putusannya baik dalam perkara PHPU.D Jawa Timur maupun PHPU.D Tangerang Selatan
telah menerapkan doktrin judicial
activism. Adapun pengertian judicial activism sebagai berikut :
“A
philosophy of judicial decision making, whereby judges allow their personal
views about public policy, among other factors, to guide their decision,
usually with the suggestion that adherents of this philosophy tend to find
constitutional violations and are willing to ignore precedent”[23]
Pada
perkara PHPU.D Jawa timur MK memberikan pandangan bahwa MK tidak boleh
membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan substantif (substantive justice)[24] , karena fakta-fakta hukum yang telah terbukti dalam perkara
tersebut telah nyata merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara
demokratis, dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum yang bersifat
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
MK
mengutip salah satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal
menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan
pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan
oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere
potest de injuria sua propria)[25]. Dengan demikian, tidak satu pun Pasangan Calon pemilihan umum
yang boleh diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran
konstitusi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Terlepas
dari penanganan penegak hukum yang akan memproses semua tindak pidana dalam
Pemilukada secara cepat dan fair untuk menjadi alat bukti
dalam sengketa pemilukada di hadapan Mahkamah yang dalam pengalaman empiris
Pemilukada tampaknya kurang efektif, maka Mahkamah memandang perlu menciptakan
terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik
pelanggaran sistematis, yang terstruktur, dan massif.
Selanjutnya MK menegaskan bahwa
dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada, Mahkamah tidak hanya menghitung
kembali hasil penghitungan suara yang sebenarnya dari pemungutan suara tetapi
juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan
yang diperselisihkan, sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-matematis
sebenarnya bisa dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah
pengawasan Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan
biasa.
Atas alasan-alasan tersebutlah
MK dapat memasuki proses mengadili dan dalam putusannya memerintahkan
pemungutan suara ulang apabila telah terjadi pelanggaran yang mempunyai sifat
terstruktur,sistematis dan massif karena MK tidak mungkin menetapkan versi
perhitungan yang tepat menurut MK apabila dalam prosesnya diwarnai dengan
pelanggaran-pelanggaran yang cukup serius.
Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perspektif
Konstitusi dan Demokrasi
Penerapan Judicial Activism untuk menegakkan keadilan substantif merupakan langkah yang
tepat, pandangan MK sebagai pengadilan konstitusi berfungsi menegakkan keadilan
tidak dapat dikesampingkan. MK mempunyai tujuan utama menegakkan konstitusi
yang didalam konstitusi tersebut terdapat sendi-sendi demokrasi. Sendi
demokrasi inilah yang harus ditegakkan oleh MK dalam pemilukada.
Namun yang perlu diperhatikan sampai sejauh mana MK dapat
mengedepankan keadilan substantif dan mengesampingkan keadilan prosedural. MK yang
merupakan sebagai lembaga peradilan tentu terikat dengan hukum acaranya yang
menjadi pedoman dalam menyelesaikan perkara. MK harus berpegang teguh pada
hukum acaranya, karena keadilan yang harus diwujudkan adalah keadilan yang
lahir dari sebuah kepastian hukum.
Dari putusan-putusan yang
dikeluarkan Mahkamah Konstitusi perihal PHPU.D, putusan PHPU.D Jawa Timur
dijadikan yurisprudensi oleh Mahkamah Konstitusi dalam hal perluasan objek
sengketa PHPU.D hal ini tentu tidak sesuai dengan hukum acara yang telah di
tetapkan. Dalam perkembangan putusan yang dikeluarkannya Mahkamah Konstitusi
dalam mengemban misinya sebagai kekuasaan kehakiman harus menegakkan demokrasi
dan keadilan. Keadilan substantive yang telah mencederai nilai-nilai
demokrasilah yang ditegakkan oleh MK dalam sengketa PHPU.D. objek sengketa yang
menjadi criteria MK untuk dapat memeriksa perkara PHPU.D adalah
pelanggaran-pelanggaran yang bersifat terstruktur,sistematis dan massif yang
telah mencederai demokrasi dalam pemilukada. Dari perkembangan putusan yang
telah dikeluarkan MK terdapat indicator-indikator yang menjelaskan criteria
dari pelanggaran tersebut. Indicator tersebut dapat dijadikan dasar untuk
membentuk suatu aturan acara dimana MK dalam menegakkan keadilan substantive
tidak selalu mengesampingkan keadilan procedural. keadilan substantive dan
keadilan procedural harus berjalan secara simultan. Hal ini dikarenakan
Indonesia sebagai Negara hukum yang telah tercantum dalam konstitusinya harus
menjamin keadilan yang terwujud adalah keadilan yang berdasarkan kepastian
hukum.
[1]
Tidak semua negara menyebut lembaga baru itu dengan istilah MK. Prancis
misalnya menyebut dengan Dewan Konstitusi (Counseil
Constitutionnel), Belgia menyebutnya Arbitrase Konstitusional
(Constitusional Arbitrage) karena lembaga ini dianggap bukan pengadilan dalam
arti yang lazim karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim. Persamaan
dari ke-78 negara itu adalah pada MK yang dilembagakan tersendiri di luar MA.
[2]
Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun
formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji
kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif
legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi
derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum
secara a posteriori, kalau dilakukan
secara a priori disebut judicial preview sebagaimana misalnya
dipraktekkan oleh Counseil Constitusional
(Dewan Konstitusi) di Prancis.
Judicial review bekerja atas dasar adanya peraturan perundang-undangan yang
tersusun hierarkis.
[3]
Pasal 50 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat setelah dibatalkan MK.
[4]
Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun
formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji
kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif
legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi
derajat dan hierarkinya. Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum
secara a posteriori, kalau dilakukan
secara a priori disebut judicial preview sebagaimana misalnya
dipraktekkan oleh Counseil Constitusional
(Dewan Konstitusi) di Prancis. Judicial
review bekerja atas dasar adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun
hierarkis.
[5]
Lihat Pasal 7 B ayat (3) UUD 1945.
[6]
Lihat Pasal 10 dan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar